Oleh Subchan Daragana
Ada satu kata yang jarang kita ucap, meski semua orang tahu: mati.
Kata itu membuat sebagian orang menunduk, sebagian lagi mengalihkan pembicaraan. Padahal, kematian bukan sesuatu yang asing — ia adalah satu-satunya janji yang tak mungkin diingkari.
Namun kita tumbuh dalam budaya yang sibuk menutupi kata itu dengan eufemisme: meninggal, berpulang, tiada, wafat. Seolah dengan mengganti kata, kita bisa menunda rasa takut.
Padahal, kematian bukan untuk ditakuti, tapi untuk disadari. Sadar bahwa hidup ini terbatas. Bahwa setiap detik yang lewat tidak pernah bisa diulang. Dan justru dari kesadaran itulah lahir kehidupan yang paling hidup.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian.” (HR. Tirmidzi)
Beliau tidak sedang menakut-nakuti, tapi sedang membebaskan. Karena orang yang sadar mati akan berhenti mengejar hal-hal yang tidak abadi, dan mulai menata hatinya untuk hal-hal yang benar-benar berarti.
Kesadaran akan mati membuat kita lebih manusiawi. Kita menjadi lebih lembut dalam bicara, lebih hati-hati dalam melukai, lebih jujur dalam bekerja, dan lebih cepat memaafkan. Sebab kita tahu, semua bisa berakhir kapan saja — dan penyesalan tidak pernah datang di awal.
Filsuf Yunani, Socrates, berkata bahwa mati bukan akhir, tapi perpindahan jiwa dari penjara tubuh menuju kebenaran. Sementara Heidegger, filsuf modern Jerman, menyebut kesadaran akan mati sebagai inti dari eksistensi manusia. Orang yang sadar mati, katanya, justru hidup dengan paling otentik — karena ia tidak menunda-nunda lagi untuk menjadi dirinya yang sejati.
Begitu juga Imam Al-Ghazali, dalam risalah Ihya Ulumuddin, menulis bahwa mengingat mati bukan untuk murung, tapi untuk menata niat. Orang yang mengingat mati akan hidup dengan lebih cerdas, sebab ia tahu setiap amal akan kembali padanya.