Ketiga, membungkam kritik dan menekan kebebasan pers. “Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk intervensi pemberitaan, intimidasi, hingga transaksi gelap untuk menutup informasi. Keterbukaan adalah syarat akuntabilitas. Menutup kritik berarti menutup jalan perbaikan,” tegasnya.
Keempat, manipulasi agama/moral untuk pembenaran politik. “Seperti penggunaan simbol-simbol religius untuk menutupi perilaku menyimpang. Agama dijadikan perisai kepentingan. Ini menodai nilai yang mestinya menjadi suluh,” ucapnya.
Kelima, pelanggaran etika dalam ranah personal yang berdampak publik, seperti tindakan yang mencederai komitmen moral dan teladan—misalnya keputusan keluarga yang abrupt (mendadak, tiba-tiba) dan tak dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i maupun sosial. “Secara hukum mungkin sah. Tetapi pejabat publik memikul standar teladan. Ketika teladan runtuh, martabat lembaga ikut tercoreng,” tuturnya.
Korupsi etika, tegas Ustadz Endin, memicu krisis kepercayaan berantai. “Ketika publik tak percaya, kebijakan—sebagus apapun—akan dicurigai. Aparatur yang baik pun terdampak karena citra institusi terdegradasi,” katanya.
Efeknya nyata: resistensi sosial meningkat, kolaborasi warga melemah, dan kualitas layanan publik menurun karena energi birokrasi habis untuk memadamkan krisis reputasi.***